Dahulu pernah muncul zaman kejayaan ilmu pengetahuan dengan
penemuan-penemuan materialismenya, dan manusia pun dapat merasakan
pengaruhnya dalam kehidupan mereka. Dengan ini para ilmuwan mengira
bahwa mereka telah sampai pada puncak eksistensi ilmu pengetahuan.
Mereka menciptakan teori-teori dan konsep-konsep yang dapat digunakan
untuk menjelaskan semua fenomena alam raya. Kemudian mengumumkan
kejenuhan dan kebosanan mereka terhadap agama dan pengikutnya serta
akidah dan penganutnya. Ateisme telah meracuni otak dan pikiran mereka.
Kemudian gelombang ateisme ini surut ketika para ilmuan merasa telah
mampu mengalahkan kebesaran alam raya, serta tidak berkutik di depan
aturan dan teori yang telah mereka temukan sebelumnya, yang sudah
menghancurkan ketenangan dan keyakinan mereka akan kebenarannya.
Akhirnya, mereka menarik ucapannya dan mengakui akan keterbatasannya
serta mengumumkan keterbatasannya dan terus melakukan penelitian dengan
rendah hati dan beradab.
Hal ini sudah menjadi kebiasaan: akal yang sedang melakukan
perenungan terhadap kerajaan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mampu
menemukan keajaiban sekaligus dan tidak akan sampai kepada eksistensinya
secara seketika. Dia harus melewati masa-masa yang telah ditentukan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan penelitian kritis. Akal
juga akan berhasil menguak misteri jagad raya dengan berangsur-angsur.
Keduanya harus menemukan kesimpulan yang salah dan kadang-kadang benar.
Dia menerima kesalahan sebagai pelajaran agar dapat menemukan hakikatnya
dengan kesimpulan yang benar. Demikianlah akal manusia, sekalipun ia
sudah mencapai puncak kesempurnaan namun tidak akan sampai pada hakikat
sesuatu (eksistensi). Ia hanya dapat menemukan sifat-sifat yang
bermanfaat bagi manusia. Sedangkan hakikat sesuatu tidak akan dapat
diraih oleh akal manusia. Hal itu mungkin sudah menjadi rahasia ilmu
Allah subhanahu wa ta’ala dan bukan tugas tujuan dalam perenungan yang
dilakukan oleh akal manusia.
(Hasan Al Banna)
0 comments:
Post a Comment